Ada satu garis tak kasat mata yang pernah menghubungkanku dengan seorang pria dari masa lalu. Garis itu bernama takdir.
Bermula dari satu sapaan singkat dalam sebuah chat room di penghujung tahun 2007, aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa takdir akan membimbingku untuk dekat denganmu. Kukira aku tak akan pernah menemukanmu lagi selewat obrolan yang kita lalui siang itu. Namun ternyata, kita bertemu lagi dan lagi. Bahkan setelah kali ke sekian pertemuan kita di chat room, kita memutuskan untuk saling bertukar nomor ponsel.
Ada semacam candu yang membuatku ingin terus berbagi cerita denganmu. Mungkin karena kita memiliki beberapa kesamaan. Dan dari kesamaan itu membuatku merasa nyaman.
Kukira apa yang kurasakan kala itu tak mungkin berubah menjadi rasa yang lebih dari sekedar rasa nyaman. Logikaku masih menampik bahwa aku tak mungkin jatuh hati pada pria yang bahkan melihat sosok aslinya saja aku belum pernah. Lagi pula kalaupun aku benar-benar jatuh hati, jarak yang terbentang dari Pekalongan hingga Bandung pasti akan sangat merepotkan. Itu yang ada dalam benakku saat itu. Namun di kemudian hari, kamu membuatku tersadar bahwa ada rasa yang lebih dari sekedar rasa nyaman yang kutujukan padamu. Dan ternyata kamupun merasakan hal yang serupa.
Pada akhirnya aku memang jatuh hati padamu. Aku jatuh hati pada tiap ocehanmu yang tak pernah berhenti mengalir. Aku jatuh hati pada tiap perhatian kecil yang kamu beri. Dan ya, aku jatuh hati pada pria yang belum pernah kulihat sosoknya secara langsung. Logikaku kalah telak.
Aku pernah bertanya padamu, saat aku dan kamu telah saling mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati masing-masing, “mau diapakan hubungan kita?”
Kamu hanya berujar, “kenapa nggak kita coba untuk jadi lebih dari sekedar teman?”
Jadi pada suatu hari di bulan Oktober delapan tahun lalu, aku dan kamu memutuskan untuk menjadi kita. Tanpa menghiraukan ratusan kilometer jarak yang memisahkan. Tanpa peduli bahwa kita belum pernah bertatap muka secara langsung. Interaksi yang kita jalin hanya terbatas pada media jejaring sosial, pada pesan singkat yang saling kita kirim dari ponsel masing-masing, dan pada tiap panggilan yang kita lakukan kala malam semakin larut.
Cinta kadang memang bisa mengalahkan logika. Dan kamu, pria yang tanpa sengaja kukenal dalam sebuah chat room, justru berhasil mempecundangi logikaku. Aku justru benar-benar merasakan apa yang disebut “jatuh cinta” pada pria yang belum pernah kujumpai secara langsung. Ya, aku benar-benar jatuh cinta padamu, hingga aku tak lagi peduli pada jarak yang memisahkan kita.
Aku akan selalu mengingat saat kali pertama kita bertemu. Pertemuan pertama kita terjadi pada bulan puasa di tahun 2009. Hampir setahun kita bertahan pada hubungan yang hanya terbatas pada media ponsel dan internet. Namun aku percaya bahwa kelak kita akan bertemu. Dan kamupun begitu.
Kamu bilang kamu akan pulang ke kotamu, di Jepara sana, saat kamu selesai menjalani KKP. Dan kamu akan menyempatkan diri untuk singgah sebentar di kotaku. Maka, kuberikan alamat lengkapku jauh-jauh hari sebelumnya.
Kamu tahu, sudah begitu lama aku membayangkan hari itu tiba, hari di mana kamu dan aku akhirnya bertatap muka secara langsung. Aku ingat, aku sama sekali tak dapat memejamkan mata saat kamu berada dalam perjalanan dari Bandung ke Pekalongan. Aku berharap semoga kamu baik-baik saja dalam perjalan.
Dan saat menjelang subuh dan waktu sahur akan segera habis, kamupun datang. Aku ingat saat itu langit masih gelap. Ada beberapa bintang yang kala itu terserak, membuat langit tampak begitu semarak. Penantianku terbayar lunas. Dengan kaos hitam yang tampak sedikit lusuh karena bergesekan dengan kursi bus selama berjam-jam, kamu datang dengan satu senyuman, membuatku melonjak kegirangan. Namun aku menahan diri untuk tidak memelukmu. Ada ibuku yang terus memperhatikan gerak-gerik kita kala itu. Dan kamu tahu, tiap kali aku mengingatnya, ada senyuman yang serta-merta tersungging di bibirku.
Pertemuan-pertemuan kita selanjutnya terjadi tiap kamu akan kembali ke Jepara. Meskipun hanya pertemuan-pertemuan singkat yang berlangsung, namun itu sudah terasa cukup bagiku. Memang ada kalanya aku menginginkan pertemuan yang sedikit lebih lama dari biasanya. Tapi aku cukup tahu diri dan berusaha menahan diri untuk tidak terlihat kekanakan di matamu.
Layaknya hubungan lawan jenis yang terjadi, segalanya tidak selalu berjalan dengan baik. Ada kalanya kita bertengkar, meributkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Ada kalanya saat aku dan kamu saling mempertahankan argumen masing-masing dan sama-sama tidak mau mengalah. Namun tetap saja kita bertahan. Pada jarak. Dan pada waktu yang entah akan berlangsung sampai kapan.
Jangan kira aku tak pernah berpikir untuk memangkas jarak yang terbentang di antara kita. Tapi bagaimana? Aku masih harus menyelesaikan studiku di bangku SMA. Kamupun masih harus berjuang dengan Tugas Akhirmu di sana. Jadi dengan segala rindu yang menumpuk dan hati yang mencoba untuk disabar-sabarkan, kita tetap bertahan. Karena kita yakin bahwa kelak akan tiba waktunya saat jarak antara aku dan kamu menjadi kian menyempit.
Hampir tiga tahun lamanya kita bertahan pada jarak yang terbentang ratusan kilometer jauhnya. Hingga jarak yang ada di antara kita kemudian makin menipis dan menyempit. Adalah saat kamu telah selesai menempuh pendidikanmu di bidang Teknik Elektro dan memutuskan untuk kembali ke Jepara. Dan tak lama berselang, aku diterima di sebuah PTS di Semarang. Jarak yang dulu harus ditempuh selama lebih dari tujuh jam, kini dapat ditempuh selama satu hingga dua jam perjalanan darat saja.
Kukira jarak yang makin dekat di antara kita akan membuat hubungan kita jadi kian erat karena kita dapat meningkatkan intensitas pertemuan kita. Tapi siapa sangka kalau segalanya justru berbalik seratus delapan puluh derajat.
Kamu masih menemaniku di sini saat masa orientasi bagi mahasiswa baru berlangsung. Kamu membantu mencari barang-barang yang harus kubawa saat OSPEK sejak siang. Lalu saat kamu pamit pulang, kamu berjanji untuk datang lagi ke Semarang pada minggu berikutnya. Namun yang terjadi pada minggu berikutnya, ternyata tidak sesuai dengan janjimu.
Kamu tidak datang. Kamu bilang ada suatu hal yang harus kamu kerjakan di Jepara sana. Lalu kamu berjanji akan melunasi janji yang kamu ucapkan pada minggu berikutnya lagi. Dan nyatanya saat hari itu tiba, kamu masih tidak datang. Tapi masih saja kamu berjanji untuk datang pada minggu setelahnya.
Hingga saat kali ke tiga kamu kembali mengingkari janji, akupun meledak. Sebenarnya apa alasanmu terus mengingkari janji seperti itu? Sesibuk itukah kamu dengan urusanmu di sana sehingga berkali-kali kamu harus membatalkan janji untuk menemuiku di sini?
Dan seperti yang sudah-sudah, kamu selalu memilih untuk diam saat aku tengah meradang. Tiga hari lamanya aku tidak menerima kabar tentangmu, baik melalui pesan singkat, email, apalagi telepon. Kamu terus membisu. Membuatku meragu, pantaskah hubungan ini dipertahankan?
Pada malam ke tiga kamu membisu, kuputuskan untuk menghubungimu. Berkali-kali kamu menolak panggilanku, berkali-kali pula aku mencoba untuk menghubungimu kembali. Hingga saat aku akan menyerah, satu pesan singkat darimu membuatku terenyak.
Kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang telah kita jalani tiga tahun lamanya. Sepihak. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk berkata mau atau tidak.
We’re done. Yes, we’re done.
Dengan begitu mudah kamu mangakhiri hubungan kita tanpa peduli pada apa yang telah kita lalui selama tiga tahun itu. Kamu memutuskan untuk menyerah. Entah pada jarak, entah pada waktu, entah pada apa yang aku tak tahu. Karena kamu selalu mengelak saat aku meminta alasan yang sebenarnya saat kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan denganku.
Kamu membuatku bertanya-tanya akan apa yang salah dengan hubungan kita? Apa aku terlampau sering membuatmu kesal? Apa aku tak cukup sempurna bagimu? Apa karena aku belum bisa menjadi seperti apa yang kamu mau? Atau kamu memang sudah menyerah pada jarak yang terbentang di antara kita?
Hingga pada suatu hari, saat aku tengah mencoba menata hati dan hidupku kembali, iseng kucari namamu dalam satu mesin pencari. Kupilih satu pilihan yang membawaku ke salah satu akun jejaring sosial milikmu. Pada salah satu pos yang kamu unggah, terdapat jawaban yang selama ini kucari. Alasan mengapa kamu melepaskanku. Alasan yang tak pernah mau untuk kamu nyatakan langsung padaku.
***
Dear pria yang hingga kini masih saja memenuhi hati dan pikiranku, aku selalu berharap bahwa kamu, seseorang yang telah mengisi dan menemani hari-hariku selama tiga tahun lamanya, akan menjadi pria terakhir dalam hidupku. Sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku bahwa di kemudian hari, segala angan dan asa yang kugantungkan padamu tidak akan pernah mewujud nyata.
Kukira perkara jarak yang telah berhasil kita lalui selama tiga tahun bukan masalah yang cukup kuat untuk memisahkan kita. Namun nyatanya? Pada pos yang kamu unggah dalam salah satu akunmu, kamu bilang kamu jenuh. Kamu memerlukan seseorang yang dapat berada di sisimu setiap saat dan bisa kamu jumpai tiap waktu. Kamu memerlukan cinta yang nyata.
Cinta yang nyata kamu bilang? Jadi menurutmu, selama ini kita hanya menjalani cinta yang semu? Cinta yang hanya terbatas pada pesan-pesan singkat yang saling kita kirim melalui ponsel masing-masing, pada panggilan enam puluh menit yang biasa kita lakukan, pada candaan-candaan yang kita lontarkan melalui media jejaring sosial. Bukan cinta yang dapat kamu rasakan tiap waktu melalui pembicaraan langsung, sentuhan-sentuhan lembut, dan kecupan singkat saat sang pria akan meninggalkan wanitanya kala malam semakin larut.
Awalnya kukira jarak bukanlah hal yang cukup mampu untuk memisahkan kita. Aku selalu memilih untuk mematikan fungsi telingaku saat orang-orang di sekelilingku mulai berkomentar yang bukan-bukan mengenai hubungan jarak jauh yang kita jalani. Mereka bilang hubungan jarak jauh rentan akan masalah kepercayaan terhadap pasangan, bahkan isu orang ke tiga yang kerap kali hadir tanpa diundang. Namun aku tidak peduli. Atau tepatnya tidak mau peduli.
Tapi kamu, kamu dengan begitu mudahnya menyerah pada satu rasa. Jenuh. Apa kamu pikir aku tidak pernah merasakan hal yang sama? Kalau saja kamu tahu, rasa jenuh juga kerap kali hadir menggodaku. Menggodaku untuk menyerah, menggodaku untuk kemudian meninggalkanmu. Namun aku selalu menepis rasa itu.
Aku terlalu yakin bahwa kamu adalah Mr. Right yang telah Tuhan kirimkan untukku. Tapi ternyata aku salah. Kamu bukan pria itu.
Segala ocehan yang mereka katakan tentang rentannya hubungan jarak jauh kini serupa kutukan bagiku. Aku yang tak percaya, atau tepatnya tak mau percaya pada hubungan jarak jauh yang tidak akan bertahan lama, kini harus menerima bahwa bualan yang pernah mereka lontarkan mengenai hubungan jarak jauh yang kujalani denganmu memang benar adanya.
Harusnya aku menyadari lebih awal bahwa kamu jenuh. Dari perubahan sikapmu yang makin jarang menghubungiku, dari keenggananmu menjawab pertanyaan, “apa kamu masih sayang aku?”, dan dari kian seringnya kamu meradang hanya karena satu masalah kecil yang terjadi di antara kita.
Dear pria yang sosoknya masih kerap hadir dalam mimpiku, bukankah seharusnya aku membencimu? Ya, harusnya aku membencimu karena dengan mudahnya kamu meninggalkanku hanya dengan satu kata jenuh. Namun nyatanya aku tak pernah mampu untuk membencimu.
Segala kenangan tentangmu masih saja tersimpan rapi di sudut otakku, seolah aku enggan untuk melenyapkannya. Mungkin karena rasa yang kutujukan padamu terlalu dalam. Mungkin karena kamu adalah pria pertama yang telah mengajarkanku akan arti pengorbanan, akan arti menunggu, dan akan cinta yang sebenarnya.
Kamu membuatku tahu mengapa jatuh cinta terkadang bisa sangat menyakitkan. Karena namanya saja jatuh. Coba kalau namanya terbang, maka kita tak akan pernah merasa sakit karena mencintai seseorang.