Minggu, 11 September 2016

The Curse of LDR

Ada satu garis tak kasat mata yang pernah menghubungkanku dengan seorang pria dari masa lalu. Garis itu bernama takdir.
Bermula dari satu sapaan singkat dalam sebuah chat room di penghujung tahun 2007, aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa takdir akan membimbingku untuk dekat denganmu. Kukira aku tak akan pernah menemukanmu lagi selewat obrolan yang kita lalui siang itu. Namun ternyata, kita bertemu lagi dan lagi. Bahkan setelah kali ke sekian pertemuan kita di chat room, kita memutuskan untuk saling bertukar nomor ponsel.
Ada semacam candu yang membuatku ingin terus berbagi cerita denganmu. Mungkin karena kita memiliki beberapa kesamaan. Dan dari kesamaan itu membuatku merasa nyaman.
Kukira apa yang kurasakan kala itu tak mungkin berubah menjadi rasa yang lebih dari sekedar rasa nyaman. Logikaku masih menampik bahwa aku tak mungkin jatuh hati pada pria yang bahkan melihat sosok aslinya saja aku belum pernah. Lagi pula kalaupun aku benar-benar jatuh hati, jarak yang terbentang dari Pekalongan hingga Bandung pasti akan sangat merepotkan. Itu yang ada dalam benakku saat itu. Namun di kemudian hari, kamu membuatku tersadar bahwa ada rasa yang lebih dari sekedar rasa nyaman yang kutujukan padamu. Dan ternyata kamupun merasakan hal yang serupa.
Pada akhirnya aku memang jatuh hati padamu. Aku jatuh hati pada tiap ocehanmu yang tak pernah berhenti mengalir. Aku jatuh hati pada tiap perhatian kecil yang kamu beri. Dan ya, aku jatuh hati pada pria yang belum pernah kulihat sosoknya secara langsung. Logikaku kalah telak.
Aku pernah bertanya padamu, saat aku dan kamu telah saling mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati masing-masing, “mau diapakan hubungan kita?”
Kamu hanya berujar, “kenapa nggak kita coba untuk jadi lebih dari sekedar teman?”
Jadi pada suatu hari di bulan Oktober delapan tahun lalu, aku dan kamu memutuskan untuk menjadi kita. Tanpa menghiraukan ratusan kilometer jarak yang memisahkan. Tanpa peduli bahwa kita belum pernah bertatap muka secara langsung. Interaksi yang kita jalin hanya terbatas pada media jejaring sosial, pada pesan singkat yang saling kita kirim dari ponsel masing-masing, dan pada tiap panggilan yang kita lakukan kala malam semakin larut.
Cinta kadang memang bisa mengalahkan logika. Dan kamu, pria yang tanpa sengaja kukenal dalam sebuah chat room, justru berhasil mempecundangi logikaku. Aku justru benar-benar merasakan apa yang disebut “jatuh cinta” pada pria yang belum pernah kujumpai secara langsung. Ya, aku benar-benar jatuh cinta padamu, hingga aku tak lagi peduli pada jarak yang memisahkan kita.
Aku akan selalu mengingat saat kali pertama kita bertemu. Pertemuan pertama kita terjadi pada bulan puasa di tahun 2009. Hampir setahun kita bertahan pada hubungan yang hanya terbatas pada media ponsel dan internet. Namun aku percaya bahwa kelak kita akan bertemu. Dan kamupun begitu.
Kamu bilang kamu akan pulang ke kotamu, di Jepara sana, saat kamu selesai menjalani KKP. Dan kamu akan menyempatkan diri untuk singgah sebentar di kotaku. Maka, kuberikan alamat lengkapku jauh-jauh hari sebelumnya.
Kamu tahu, sudah begitu lama aku membayangkan hari itu tiba, hari di mana kamu dan aku akhirnya bertatap muka secara langsung. Aku ingat, aku sama sekali tak dapat memejamkan mata saat kamu berada dalam perjalanan dari Bandung ke Pekalongan. Aku berharap semoga kamu baik-baik saja dalam perjalan.
Dan saat menjelang subuh dan waktu sahur akan segera habis, kamupun datang. Aku ingat saat itu langit masih gelap. Ada beberapa bintang yang kala itu terserak, membuat langit tampak begitu semarak. Penantianku terbayar lunas. Dengan kaos hitam yang tampak sedikit lusuh karena bergesekan dengan kursi bus selama berjam-jam, kamu datang dengan satu senyuman, membuatku melonjak kegirangan. Namun aku menahan diri untuk tidak memelukmu. Ada ibuku yang terus memperhatikan gerak-gerik kita kala itu. Dan kamu tahu, tiap kali aku mengingatnya, ada senyuman yang serta-merta tersungging di bibirku.
Pertemuan-pertemuan kita selanjutnya terjadi tiap kamu akan kembali ke Jepara. Meskipun hanya pertemuan-pertemuan singkat yang berlangsung, namun itu sudah terasa cukup bagiku. Memang ada kalanya aku menginginkan pertemuan yang sedikit lebih lama dari biasanya. Tapi aku cukup tahu diri dan berusaha menahan diri untuk tidak terlihat kekanakan di matamu.
Layaknya hubungan lawan jenis yang terjadi, segalanya tidak selalu berjalan dengan baik. Ada kalanya kita bertengkar, meributkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Ada kalanya saat aku dan kamu saling mempertahankan argumen masing-masing dan sama-sama tidak mau mengalah. Namun tetap saja kita bertahan. Pada jarak. Dan pada waktu yang entah akan berlangsung sampai kapan.
Jangan kira aku tak pernah berpikir untuk memangkas jarak yang terbentang di antara kita. Tapi bagaimana? Aku masih harus menyelesaikan studiku di bangku SMA. Kamupun masih harus berjuang dengan Tugas Akhirmu di sana. Jadi dengan segala rindu yang menumpuk dan hati yang mencoba untuk disabar-sabarkan, kita tetap bertahan. Karena kita yakin bahwa kelak akan tiba waktunya saat jarak antara aku dan kamu menjadi kian menyempit.
Hampir tiga tahun lamanya kita bertahan pada jarak yang terbentang ratusan kilometer jauhnya. Hingga jarak yang ada di antara kita kemudian makin menipis dan menyempit. Adalah saat kamu telah selesai menempuh pendidikanmu di bidang Teknik Elektro dan memutuskan untuk kembali ke Jepara. Dan tak lama berselang, aku diterima di sebuah PTS di Semarang. Jarak yang dulu harus ditempuh selama lebih dari tujuh jam, kini dapat ditempuh selama satu hingga dua jam perjalanan darat saja.
Kukira jarak yang makin dekat di antara kita akan membuat hubungan kita jadi kian erat karena kita dapat meningkatkan intensitas pertemuan kita. Tapi siapa sangka kalau segalanya justru berbalik seratus delapan puluh derajat.
Kamu masih menemaniku di sini saat masa orientasi bagi mahasiswa baru berlangsung. Kamu membantu mencari barang-barang yang harus kubawa saat OSPEK sejak siang. Lalu saat kamu pamit pulang, kamu berjanji untuk datang lagi ke Semarang pada minggu berikutnya. Namun yang terjadi pada minggu berikutnya, ternyata tidak sesuai dengan janjimu.
Kamu tidak datang. Kamu bilang ada suatu hal yang harus kamu kerjakan di Jepara sana. Lalu kamu berjanji akan melunasi janji yang kamu ucapkan pada minggu berikutnya lagi. Dan nyatanya saat hari itu tiba, kamu masih tidak datang. Tapi masih saja kamu berjanji untuk datang pada minggu setelahnya.
Hingga saat kali ke tiga kamu kembali mengingkari janji, akupun meledak. Sebenarnya apa alasanmu terus mengingkari janji seperti itu? Sesibuk itukah kamu dengan urusanmu di sana sehingga berkali-kali kamu harus membatalkan janji untuk menemuiku di sini?
Dan seperti yang sudah-sudah, kamu selalu memilih untuk diam saat aku tengah meradang. Tiga hari lamanya aku tidak menerima kabar tentangmu, baik melalui pesan singkat, email, apalagi telepon. Kamu terus membisu. Membuatku meragu, pantaskah hubungan ini dipertahankan?
Pada malam ke tiga kamu membisu, kuputuskan untuk menghubungimu. Berkali-kali kamu menolak panggilanku, berkali-kali pula aku mencoba untuk menghubungimu kembali. Hingga saat aku akan menyerah, satu pesan singkat darimu membuatku terenyak.
Kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang telah kita jalani tiga tahun lamanya. Sepihak. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk berkata mau atau tidak.
We’re done. Yes, we’re done.
Dengan begitu mudah kamu mangakhiri hubungan kita tanpa peduli pada apa yang telah kita lalui selama tiga tahun itu. Kamu memutuskan untuk menyerah. Entah pada jarak, entah pada waktu, entah pada apa yang aku tak tahu. Karena kamu selalu mengelak saat aku meminta alasan yang sebenarnya saat kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan denganku.
Kamu membuatku bertanya-tanya akan apa yang salah dengan hubungan kita? Apa aku terlampau sering membuatmu kesal? Apa aku tak cukup sempurna bagimu? Apa karena aku belum bisa menjadi seperti apa yang kamu mau? Atau kamu memang sudah menyerah pada jarak yang terbentang di antara kita?
Hingga pada suatu hari, saat aku tengah mencoba menata hati dan hidupku kembali, iseng kucari namamu dalam satu mesin pencari. Kupilih satu pilihan yang membawaku ke salah satu akun jejaring sosial milikmu. Pada salah satu pos yang kamu unggah, terdapat jawaban yang selama ini kucari. Alasan mengapa kamu melepaskanku. Alasan yang tak pernah mau untuk kamu nyatakan langsung padaku.
***
Dear pria yang hingga kini masih saja memenuhi hati dan pikiranku, aku selalu berharap bahwa kamu, seseorang yang telah mengisi dan menemani hari-hariku selama tiga tahun lamanya, akan menjadi pria terakhir dalam hidupku. Sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku bahwa di kemudian hari, segala angan dan asa yang kugantungkan padamu tidak akan pernah mewujud nyata.
          Kukira perkara jarak yang telah berhasil kita lalui selama tiga tahun bukan masalah yang cukup kuat untuk memisahkan kita. Namun nyatanya? Pada pos yang kamu unggah dalam salah satu akunmu, kamu bilang kamu jenuh. Kamu memerlukan seseorang yang dapat berada di sisimu setiap saat dan bisa kamu jumpai tiap waktu. Kamu memerlukan cinta yang nyata.
          Cinta yang nyata kamu bilang? Jadi menurutmu, selama ini kita hanya menjalani cinta yang semu? Cinta yang hanya terbatas pada pesan-pesan singkat yang saling kita kirim melalui ponsel masing-masing, pada panggilan enam puluh menit yang biasa kita lakukan, pada candaan-candaan yang kita lontarkan melalui media jejaring sosial. Bukan cinta yang dapat kamu rasakan tiap waktu melalui pembicaraan langsung, sentuhan-sentuhan lembut, dan kecupan singkat saat sang pria akan meninggalkan wanitanya kala malam semakin larut.
          Awalnya kukira jarak bukanlah hal yang cukup mampu untuk memisahkan kita. Aku selalu memilih untuk mematikan fungsi telingaku saat orang-orang di sekelilingku mulai berkomentar yang bukan-bukan mengenai hubungan jarak jauh yang kita jalani. Mereka bilang hubungan jarak jauh rentan akan masalah kepercayaan terhadap pasangan, bahkan isu orang ke tiga yang kerap kali hadir tanpa diundang. Namun aku tidak peduli. Atau tepatnya tidak mau peduli.
          Tapi kamu, kamu dengan begitu mudahnya menyerah pada satu rasa. Jenuh. Apa kamu pikir aku tidak pernah merasakan hal yang sama? Kalau saja kamu tahu, rasa jenuh juga kerap kali hadir menggodaku. Menggodaku untuk menyerah, menggodaku untuk kemudian meninggalkanmu. Namun aku selalu menepis rasa itu.
          Aku terlalu yakin bahwa kamu adalah Mr. Right yang telah Tuhan kirimkan untukku. Tapi ternyata aku salah. Kamu bukan pria itu.
          Segala ocehan yang mereka katakan tentang rentannya hubungan jarak jauh kini serupa kutukan bagiku. Aku yang tak percaya, atau tepatnya tak mau percaya pada hubungan jarak jauh yang tidak akan bertahan lama, kini harus menerima bahwa bualan yang pernah mereka lontarkan mengenai hubungan jarak jauh yang kujalani denganmu memang benar adanya.
          Harusnya aku menyadari lebih awal bahwa kamu jenuh. Dari perubahan sikapmu yang makin jarang menghubungiku, dari keenggananmu menjawab pertanyaan, “apa kamu masih sayang aku?”, dan dari kian seringnya kamu meradang hanya karena satu masalah kecil yang terjadi di antara kita.
          Dear pria yang sosoknya masih kerap hadir dalam mimpiku, bukankah seharusnya aku membencimu? Ya, harusnya aku membencimu karena dengan mudahnya kamu meninggalkanku hanya dengan satu kata jenuh. Namun nyatanya aku tak pernah mampu untuk membencimu.
          Segala kenangan tentangmu masih saja tersimpan rapi di sudut otakku, seolah aku enggan untuk melenyapkannya. Mungkin karena rasa yang kutujukan padamu terlalu dalam. Mungkin karena kamu adalah pria pertama yang telah mengajarkanku akan arti pengorbanan, akan arti menunggu, dan akan cinta yang sebenarnya.
          Kamu membuatku tahu mengapa jatuh cinta terkadang bisa sangat menyakitkan. Karena namanya saja jatuh. Coba kalau namanya terbang, maka kita tak akan pernah merasa sakit karena mencintai seseorang.

Kamis, 07 April 2016

Dear, K

Dear, K...

There's nothing wrong in showing our true colors.
You've been hiding everything for too long.
You need to learn to speak what's on your mind, be who you wanna be, and do what you wanna do.

You know, K...
I believe that there's somebody out there who will understand you.
He or she won't judge you even you show him or her who you really are.

Speak it up, K!

Don't bury your fear, anger, and sadness.
Cause when you try to bury them over and over, you'll turn into a time bomb that'd probably explode anytime.
And if that happened, you couldn't avoid it.

Go find somebody to talk to, K...

You need to learn to trust somebody else.

It's okay to cry.
It's okay to be furious.
Cause everybody needs to express their own feelings.
And so do you.

You don't need to be afraid to show them your true color.

So say everything that you wanna say, be who you wanna be, and do what you wanna do.

They'll understand, K...

And you don't need to be fake anymore.

Selasa, 01 Maret 2016

BURN

Have you ever felt like you wanted to die?

You want to be dead because nobody wants you. Nobody cares if you're around or not.

They'll feel nothing.

Because you're nothing but a mess.

A failure.

A trash.

So all they have to do is just dump you. Abandon you. Then they burn you.

Till your last pieces.

Jumat, 10 Oktober 2014

INTERLUDE : SELALU ADA JEDA UNTUK BAHAGIA

Hari ini gue baru aja kelar baca buku ini...


Interlude ini karya keenam dari Windry Ramadhina, sekaligus buku pertamanya yang gue baca. Buku ini gue dapat dari hasil pinjaman Mbak Inoer, editor di kantor tempat gue magang. Lumayan buat ngisi waktu di kantor kalo pas nggak ada kerjaan. Hehe...

Tokoh sentral dalam  novel setebal 371 halaman ini adalah Hanna dan Kai. Mereka memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang, namun ada persamaan di antara mereka. Mereka sama-sama memiliki kepahitan hidup yang harus dihadapi.

Hanna adalah seorang mahasiswi jurnalisme. Ringkih, berhati terlalu lembut, dan mudah menangis. Karenanya, Kai selalu meledeknya cengeng. Gadis ini memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Karena sesuatu yang terjadi di masa lalunya ini, dia harus menjalani terapi selama kurun waktu satu tahun. Dan karena masa lalunya pula, Hanna sering dijadikan bahan gunjingan oleh teman-teman kampusnya.

Sementara Kai adalah seorang pemuda yang bisa dikatakan anti kemapanan. Gemar mabuk, tidak pernah bertahan lama berhubungan dengan perempuan, dan tidak peduli pada bidang akademis yang dia jalani meskipun selama enam semester berturut-turut selalu memperoleh IPK sempurna. Kai merupakan gitaris genius dari Second Day Charm, suatu band beraliran Jazz, yang dimotori oleh Jun. Vokalis dari band ini, Gitta, sempat menjalin hubungan dengan Kai selama beberapa saat.

Lalu bagaimana dua orang dengan kepribadian yang bertolak belakang ini bertemu? Well, mereka bertemu pertama kali di atap apartemen tempat Hanna indekos. Kebetulan, Gitta juga tinggal di gedung yang sama. Karena itu Kai sering berkunjung ke sana entah untuk numpang tidur di apartemen Gitta atau sekedar bermain gitar di atap bangunan delapan lantai itu.

Awalnya, Kai tertarik pada Hanna karena sikap malu-malu kucingnya. Menurut Kai, setiap perempuan itu sama. Mereka pasti akan bersikap malu-malu dan sok jual mahal di depan semua pria, tapi kemudian dengan mudahnya mau untuk diajak ke ranjang. Seperti itu pula penilaian Kai pada Hanna. Padahal dirinya sudah diingatkan Gitta bahwa Hanna sama sekali berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini Kai kencani. Namun Kai tetap saja tidak peduli dan berusaha untuk menaklukkan Hanna.

Hingga kemudian, saat Kai mengetahui kebenaran akan masa lalu Hanna, pemuda ini menyesal setengah mati karena telah memperlakukan Hanna dengan tidak baik. Dia berusaha untuk meminta maaf pada gadis itu dan ingin membuktikan bahwa tidak selamanya dia menjadi laki-laki berengsek.

Well, nggak perlu gue ceritain secara menyeluruh juga kan? Yang jelas, gue suka pake banget sama novel dengan cover cantik ini. Dari sini kita bisa belajar bahwa yang bisa menyembuhkan trauma serta ketakutan-ketakutan dalam diri kita adalah kita sendiri. Bukan orang lain. Gue suka Hanna yang meskipun masih terbayang-bayang akan masa lalunya namun perlahan-lahan dia mau keluar dari sana. Intinya, mau sebesar apapun support dan motivasi orang lain agar kita mau move on dari masa lalu, kalo kitanya sendiri aja nggak mau dan nggak bisa memotivasi diri sendiri ya kita nggak akan bisa beranjak ke mana-mana.

Oh iya, ada satu kutipan yang paling gue suka di buku ini. Kalimat yang diucapkan Miss Lorri, teraphist Hanna.

Masa lalu seperti belenggu, memang. Mengikat. Terlalu mengikat, kadang. Seperti menjadi bagian baru di diri kita. Bagian baru yang membebani. (hal 254)

And last but not least, saat membaca Interlude ini, nggak tau kenapa gue ngebayangin sosok Kai itu kayak JongHyun-nya CNBlue >.<
Dan ngomong-ngomong soal Kai, gue jadi inget sama Ares di Summer Breeze-nya Orizuka. Sama-sama tipe pemuda bengal yang sebenarnya butuh perhatian.

So, intinya buku ini bagus dan worth to read. Tapi hati-hati, kalo perasaan lo mendadak sendu dan galau, jangan salahin gue! :D

Selasa, 07 Oktober 2014

AKHIRNYA DITENGOKIN EMAK

Pagi ini gue terbangun lebih pagi dari biasanya, pukul 5 pagi. Catet ya, terbangun. That means, sebenernya itu belum waktunya gue bangun.

Nah, terus kenapa, Na?

Pertama, gegara mimpi indah gue bertemu dengan Miles Teller terpaksa harus gue sudahi karena dering ponsel gue berhasil mengusir si Mas Miles dari mimpi. Dan kedua, lo tau siapa yang nelepon gue subuh-subuh buta? Dosen Pembimbing Lapangan gue! Jelas kaget banget dong gue. Ini ibu ngapain lagi pagi-pagi bener nelepon? Kangen gue kah? Oh, tapi itu jelas nggak mungkin. Karena itu gue cepat-cepat menepis pikiran kepedean gue.

Terus ngapain dong si Ibu nelepon gue jam segitu? Ternyata oh ternyata... itu karena beliaunya hari ini mau nengokin gue di kantor magang dan minta alamat lengkap kantor berikut ancer-ancernya. Mendengar kabar tersebut, seketika itu juga gue langsung melek. Men, akhirnya gue ditengokin juga...

Yup, kampus gue ini emang paling rajin. Tiap anak magang pasti bakal ditengokin sekali sama dosen pembimbing masing-masing. Padahal anak-anak dari kampus lain yang magang sekantor bareng gue nggak ada tuh acara tengok-tengokan segala. Supersekali ya kampus tercinta gue itu.

Begitu telepon ditutup, langsung deg-degan aja dong gue. Duh, ini kira-kira gue bakal dikepoin tentang apa? Karena itu gue nggak bisa menyambung mimpi buat ketemu sama Miles Teller lagi. Huwaaa...

Si Ibu Pembimbing ini saat awal gue mau magang bilang bahwa beliau akan nengokin kami,  anak bimbingannya, pada bulan September. Dan selama bulan itu, udah H2C aja dong gue... Eh, tapi setelah ditungguin dan bulan Septembernya lewat, si Ibu nggak datang-datang juga. Duh, apa si Ibu lupa kalo ada anaknya yang magang di Jogja? Berasa anak tiri yang tersisihkan banget perasaan gue waktu itu. Tapi kemudian ada temen gue yang curhat kalo dosen pembimbing mereka juga belum nengokin. Ah, langsung lega deh. Semoga emang bener beliaunya belum ada waktu.

Sebenernya sih gue nggak terlalu berharap ditengokin juga. Tapi kalo nggak ditengokin, terus form penilaian buat perusahaan untuk menilai gue siapa yang nganterin coba? Masa iya nanti gue kudu balik ke Semarang dulu buat ngambil form-nya sendiri -___-"

Anyway, akhirnya sekitar pukul 9 lebih dikit tadi dosen gue sampai juga di kantor ijo tempat gue magang. Gue sih berlagak sok santai. Padahal jantung gue udah kayak mau meledak aja tadi. Mampus, bentar lagi sesi interogasi nih.

Tapi untungnya sesi interogasinya nggak seserem yang gue bayangin. Pak Pimred di tempat gue magang minta gue untuk ikut duduk bareng mereka. Dan akhirnya dimulailah sesi ngobrol-ngobrol. Nggak lama kok. Paling cuma sekitar setengah jam. Setelah itu, si Ibu pamit karena masih harus nengokin "anaknya" yang lain yang ada di Magelang.

Oh iya, sebelum pamit, si Ibu Pembimbing nggak lupa nyerahin form penilaian buat gue ke Pimred kantor tempat gue magang dan ngasih kayak semacam bingkisan gitu *buat saya mana, Bu?* Dan karena gue magang di kantor penerbit, Pak Pimred pun "mengoleh-olehi" dosen gue dengan setumpuk buku. Ini nggak ada yang mau ngasih gue bingkisan juga?

Dadah, Ibu...
Terimakasih sudah menegok mahasiswimu yg unyu..

Well, sepulangnya beliau dari sini, gue baru nyadar bahwa minggu depan adalah minggu terakhir gue magang. Ah, akhirnya balik lagi ke kampus. Senangnya,,, *gue nggak pernah merasa sesenang ini buat balik kampus*

Meskipun akhirnya gue kudu berkutat dengan laporan magang, gue seneng karena sebentar lagi gue bakal ketemu temen-temen. Gue kangen bergosip ria, ngerumpi di kelas, dan oh... gue kan punya junior baru. Itu artinya gue bisa ngecengin berondong-berondong cucok... Mhuahaha...

Gue kangen kuliah... Iyah, kangen...

Senin, 06 Oktober 2014

THINGS YOUR ENGLISH BOOKS DON'T TELL YOU

Judul              : Things Your English Books Don’t Tell You
Penulis            : @EnglishTips4U
Penerbit         : PandaMedia
Tahun Terbit  : 2014
Cetakan          : Kedua
Tebal              : 330 hlm

ISBN              : 979-780-733-9


Kali ini gue akan coba me-review buku non fiksi yang baru aja selesai gue baca. *Tumben amat lo, Na.*

Jujur aja gue tertarik sama buku ini karena cover-nya yang unyu dengan warna pastel dan font kurusnya. Apalagi buku ini ditulis oleh para admin dari suatu akun di Twitter yang fokus pada pembelajaran bahasa Inggris. Masih jarang banget kan buku-buku non fiksi yang berhubungan dengan bahasa yang disusun oleh para admin dari suatu akun di media sosial. Karena itu gue penasaran sama isi buku ini.

Things Your English Books Don’t Tell You merupakan sebuah buku pembelajaran bahasa Inggris yang ditulis oleh para admin dari akun @EnglishTips4U. Dengan mengusung tagline “jago bahasa Inggris, tepat, cepat, dan nggak pakai ribet” memang cocok dengan konten yang disajikan dalam buku ini.

Jika buku-buku bahasa Inggris lain berfokus pada satu tema atau paling banyak tiga tema yang dibahas dalam suatu judul (misal : conversation, vocabulary, dan grammar), maka buku ini membahas hampir keseluruhan tema yang ada dalam bahasa Inggris. Pembelajaran sederhana mengenai grammar, vocabulary, idioms, hingga pengetahuan singkat mengenai TOEFL dan IELTS terangkum dalam buku setebal 330 halaman ini.

Selain topik-topik di atas, buku ini juga membahas mengenai hal-hal yang dalam buku bahasa Inggris lain mungkin belum pernah atau jarang dibahas seperti kata slang dari Amerika, Inggris, dan Australia, slur words, blending words, abbreviations, hingga kata-kata dalam bahasa Indonesia yang sepertinya tidak ada dalam bahasa Inggris (misalnya sayur asem yang dalam bahasa Inggris dideskripsikan menjadi “clear soup made of tamarind, sweet corns, peanuts, and other chopped vegetables, with sour and fresh taste”).

Sebagai selingan, buku ini juga menyajikan topik-topik ringan seperti quotes, peribahasa, dan pada halaman-halaman akhir terdapat pertanyaan teka-teki yang jawabannya dapat dilihat di web penulis, http://englishtips4u.com.

Untuk semakin meningkatkan kemampuan bahasa Inggris pembaca buku ini, terdapat pula latihan soal ringan yang jawabannya pun dapat diakses di web di atas.

Konten dengan beragam tema yang berhubungan dengan bahasa Inggris dan disajikan dengan bahasa ringan serta khas anak muda merupakan kelebihan dari buku ini.  Cover­-nya yang menarik pun tentu menjadi nilai tambah. Selain itu, @EnglishTips4U telah memiliki follower di atas 50K yang tentunya menjadi target pembaca utama sehingga tidak heran dalam waktu belum ada satu tahun saja buku ini telah memasuki cetakan kedua.

Selasa, 30 September 2014

THE BOY IN THE STRIPED PYJAMAS

Hari Sabtu kemarin gegara gak ada kerjaan di kos, akhirnya gue puas-puasin buat nonton film-film yang udah sempat gue minta dari laptopnya mbak editor dan yang gue download di kantor *terimakasih WiFi kantor yang kebut banget*. Salah satunya adalah film ini...




Film yang dirilis tahun 2008 ini mengambil setting di Jerman pada masa pemerintahan Hitler. Di awali dengan adegan Bruno (Asa Butterfield), si bocah berusia 8 tahun, yang baru pulang sekolah bersama teman-temannya. Bruno kaget karena begitu tiba di rumah, orang-orang yang berada di rumahnya tampak sibuk mengemasi barang. Dari ibu Bruno, Elsa (Vera Farmiga), dia tahu bahwa keluarga mereka akan meninggalkan Berlin karena ayahnya, Ralf (David Thewlis), yang seorang tentara Nazi dipromosikan menjadi Komandan.

Bruno sempat merasa bosan ketika berada di rumah barunya karena oleh kedua orang tuanya dia tidak diperbolehkan untuk keluar ke mana pun. Tambahan pula, dia dan kakaknya, Gretel (Amber Beattie) harus menjalani homeschooling. Bruno yang sangat menyukai petualangan dan bercita-cita menjadi explorer tentu saja merasa terkungkung.

Hingga suatu hari, ketika dia berada di gudang belakang rumahnya bersama Pavel, seorang pekerja keturunan Yahudi yang bekerja di rumahnya, tengah mencari ban bekas untuk dijadikan ayunan, Bruno melihat ada satu jendela kecil yang dapat digunakannya untuk melarikan diri. Jadilah setiap orang tuanya tidak berada di rumah, Bruno nekat pergi dari rumah untuk mengunjungi suatu tempat yang dia yakini sebagai perkebunan yang berada di belakang rumahnya.

Di sana dia bertemu dengan Shmuel (Jack Scanlon), seorang bocah keturunan Yahudi seusianya. Dari sini persahabatan di antara mereka terjalin. Setiap mengunjungi Shmuel, Bruno tidak lupa membawakannya makanan dan juga mainan agar mereka dapat bermain bersama. meskipun harus dibatasi dengan kawat-kawat listrik bertegangan tinggi, Bruno tetap datang menemui sahabatnya.


Dari kakaknya, Bruno kemudian tahu bahwa tempat di mana Shmuel berada merupakan suatu kamp untuk mengurung orang-orang keturunan Yahudi.  Tahu sendiri dong gimana Hitler benci banget sama orang Yahudi ini. Karenanya Bruno sempat takut untuk berteman dengan Shmuel. Namun kemudian, tetap saja mereka berteman karena merasa saling menyayangi dan membutuhkan.

Film yang diadaptasi dari buku berjudul sama karangan John Boyne ini sukses bikin gue nangis kejer. Apalagi begitu tahu ending-nya. Nggak ikhlas aja karena nasib Bruno dan Shmuel harus berakhir seperti itu *no spoiler*.

Ini scene yang bikin gue mewek
Film ini mengajarkan pada kita bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi penghalang bagi kita untuk berteman dengan siapapun. Film ini juga bertabur kutipan-kutipan superkeren. Salah satu yang paling gue suka adalah dialog yang diucapkan Bruno ketika bersama Shmuel, "it's funny how grown-ups can't make their minds up about what they want to do."

Meskipun dibuat mewek sampe sesenggukan, tapi gue nggak nyesel nontonnya. Kepolosan Bruno dan Shmuel diperankan secara apik oleh Asa Butterfield dan Jack Scanlon. Ah, seandainya saja di dunia ini nggak ada perang...

Oh iya, setelah nonton filmnya, gue jadi pengin baca bukunya juga. Jadi mari kita berburu e-book-nya! :D